














Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Pergeseran fungsi seni tari pada massyarakat Bali akibat derasnya arus pariwisata sejak diusungnya program pembangunan lima tahun
Typology: Essays (university)
1 / 22
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Dari Tuntunan Menjadi Tontonan: Desakralisasi Seni Tari pada Masyarakat Bali, 1969- Allysa Miranda Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia allysa.miranda@ui.ac.id Muhammad Wasith Albar Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia wasith@ui.ac.id Abdurakhman Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Abdurakhman.hum@ui.ac.id
Abstrak Artikel ini membahas tentang desakralisasi atau perubahan fungsi tari-tarian di Bali serta dampaknya terhadap aspek sosial dan budaya masyarakat setempat.Munculnya sejumlah garapan tarian baru di tengah masyarakat didorong oleh majunya kegiatan pariwisata Bali yang digencarkan sejak dicanangkannya program PELITA tahun 1969.Artikel ini berargumen bahwa desakralisasi tari Bali pada tahun 1969-1988 merupakan bentuk dukungan para seniman dalam memajukan kegiatan pariwisata Bali.Berbeda dengan kajian sebelumnya yang hanya membahas perubahan artistik (baik itu penari, koreografi, pola lantai, kostum dan perlengkapan) dalam suatu tarian tertentu di daerah tertentu, dalam penulisan artikel ini, penulislebih menekankan kepada keterkaitan perkembangan kegiatan pariwisata Bali sejak dicanangkannya program PELITA tahun 1969 dengan desakralisasitari-tarian Bali sebagai reaksi masyarakat untuk mendukung kegiatan tersebut. Dengan mengambil kasus tari-tarian garapan yang muncul pada masa tersebut, data yang terdapat dalam penulisan artikel ini diperoleh melalui studi pustaka berupa buku, jurnal, artikel, serta wawancara terhadap penari tradisional Bali sezaman.
Kata Kunci : Budaya Bali, Desakralisasi, Masyarakat Bali, Pariwisata Bali, PELITA, Tari Bali
Pendahuluan Desakralisasi merupakan proses menghilangkan atau melunturkan kesakralan dari suatu hal.(https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/desakralisasi Diakses pada tanggal 3 Maret 2018)Dalam Tari Bali, Desakralisasi pada tari Bali terjadi akibat satu faktor utama, yakni struktur kekuasaan yang memerintah wilayah Bali pada saat itu. Dalam hal ini,dapat diartikan bahwa pertunjukan tari yang terdapat di wilayah Bali tergantung pada kebijakan penguasa pada masa pemerintahannya masing-masing(Bandem, 1996: 51).Pada masa pemerintahan Soeharto, pembangunan ekonomi menjadi fokus pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.Dalam melaksanakan program kerjanya, Soeharto mencanangkan program yang dilakukan secara berkala, yakni Pembangunan Lima Tahun atau dapat juga disebut dengan
PELITA, dimana salah satu program yang diunggulkan ialah pariwisata.Penetapan Bali menjadi daerah pusat pengembangan pariwisata Indonesia bagian tengah ditandai dengat dibuatnya SK Presiden No.319 Tahun 1968 dan pada tanggal 1 April 1969, pembangunan sektor pariwisata pun dilakukan secara intensif bersamaan dengan pelaksanaan PELITA I di Indonesia (Rahardjo, 1998: 118). Pariwisata menjadi berkembang pesat dikarenakan keunikan yang dimiliki oleh kebudayaan masyarakat Bali sehingga menarik perhatian wisatawan baik itu domestik maupun mancanegara.Dalam suatu Pura di Bali, terdapat berbagai pelaksanaan upacara adat maupun keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.Masyarakat Bali dikenal dengan kemampuan artistik yang mereka miliki.Hal tersebut dikarenakan bahwa kesenian selalu melekat pada aspek kehidupan masyarakat bahkan sebagai salah satu bagian dari kegiatan keagamaan yang dilakukan. Seni tari yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya berkaitan dengan mitologi yang terdapat pada ajaran agama Hindu. Setiap desa memiliki kelompok seninya masing masing yang berisikan pemusik dan penari sehingga dapat mempertunjukkan keanekaragaman musik dan tari yang dimiliki antar desa pada saat upacara ataupun festival keagamaan, pernikahan, dan kegiatan lainnya (Department of Information Republic of Indonesia, 1960: 7). Sebagai ikon penting dalam pariwisata Bali, Tari Bali pun berkembang hingga dapat memunculkan dan menaikkan eksistensinya dimata wisatawan.Kreativitas dari para seniman pun muncul mengingat perkembangan yang terjadi pada masa pembangunan pariwisata tersebut.Hal tersebut menghasilkan munculnya wujud atau bentuk seni baru yang dikenal sebagai Tari Bebalihan yang berfungsi sebagai media komersil (Soedarsono, 1974:3).Meskipun demikian, faktor yang mendorong desakralisasi dari seni tari agar dapat dinikmati oleh khalayak tersebut bukan hanya dari tuntutan akibat perkembangan pariwisata saja, melainkan juga keinginan masyarakat itu sendiri yang hendak menjadikan kebudayaan mereka menjadi aset yang menjual, sehingga dapat memberikan keuntungan baik secara kelompok berupa bisnis maupun individu.Dalam segi bisnis, para pengusaha bidang pariwisata mengeluarkan banyak perrmintaan terhadap kreasi baru dari Tari Bali di sarana yang mereka miliki. Dalam upayanya untuk mengembangkan potensi pariwisata Bali, pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan mengenai pertunjukan seni Bali. Pada Tahun 1973 Gubernur Bali yang menjabat pada masa itu, yakni Ida Bagus Oka mengeluarkan putusan yang bertujuan untuk melindungi nilai religius masyarakat Bali dengan cara melarang adanya pementasan atau pergelaran Tari Wali (Picard: 2006, 201).Apabila wisatawan hendak menikmati karya
2010: 123). Bentuk ketaatan masyarakat Bali kepada Tuhannya dapat terlihat dari berbagai upacara keagamaan yang dilakukan guna menghormati Sang Hyang Widhi Wasa.Upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat Bali sesuai dengan fungsinya, baik itu perlindungan dari roh jahat, keamanan, kesehatan, kesejahteraan, dan lain sebagainya.Kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Bali bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara unsur positif dan negatif dalam kehidupan spiritual maupun duniawi sehingga keduanya dapat berjalan dengan selaras dalam kehidupan setiap individu. Bagi masyarakat Bali, pelaksanaan upacara adat tidaklah lengkap apabila tidak diiringi dengan pertunjukan artistik, baik itu musik Gamelan Bali, Wayang Bali, serta tari- tarian tradisional khas Bali. Pertunjukan seni di Bali memiliki ciri serta karakter khusus yang terdapat didalamnya, salah satunya adalah bersifat kebalian, dimana unsur-unsur yang terdapat dalam pertunjukan tersebut muncul dari karakter serta ekspresi dari seniman bahkan masyarakat Bali itu sendiri.Masyarakat Bali menganggap bahwa tari merupakan bentuk seni yang suci dikarenakan keterlibatannya dalam berbagai upacara ada dan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tidak hanya itu, mereka juga menganggap bahwa tari memiliki fungsi sosial yang di gerakkan pada saat kelahiran seseorang, perkawinan, potong gigi, ulang tahun pura, dan lain sebagainya (Department of Information Republic of Indonesia, 1960: 8) Peranan seni pertunjukan bersifat ritual pada masyarakat Bali sangatlah penting.Bagi masyarakat setempat, pelaksanaan upacara baik itu adat maupun keagamaan tidaklah lengkap apabila tidak ada pertunjukan artistik baik itu musik maupun tari.(Dibia, 1999: 25).Dalam pelaksanaan pertunjukan ritual, masyarakat Bali menganggap bahwa tari merupakan sarana untuk mengungkapkan kepercayaan dan keyakinan serta menginterpretasikan seruan yang dianjurkan dalam Weda mengenai kehidupan sehari-hari (Hadi, 2005: 35). Selain itu, tari- tarian Bali juga berkaitan dengan mitologi yang juga berkaitan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Masyarakat Bali beranggapan bahwa pelaksanaan seni pertunjukan ritual yang ditujukan kepada Dewa, Ruh, maupun leluhur merupakan wujud hormat dan bakti mereka kepada kangan niskala tersebut. Pertunjukan seni tersebut dipersembahkan oleh masyarakat sebagai rasa keinginan untuk berinteraksi kepada Dewa, Ruh, dan Leluhur mereka serta menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan (Yudabakti dan Watra: 29) Hampir sebagian besar tari-tarian di Bali digunakan sebagai sarana dalam pertunjukan ritual.Tari-tarian tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan pelaksanaan upacara yadnya. Dalam upacara dewa yadnya , tari-tarian yang dipertunjukkan adalah pendet, Gabor, Rejang
Sutri, Baris Gede, Topeng Pajegan,Telek, Wayang Wong, Gambuh, Sanghyang Dedari, Sanghyang Topeng Legong, Makincang-kincung, Barong, Gong Kebyar, dan sebagainya. Dalam upacara Pitra yadnya , tari-tarian yang dipertunjukkan adalah Topeng Pajegan, Barong Ket, Gabuh, Wayang Lemah, Babarongan, dan lain sebagainya. Pada upacara manusa yadnya terdapat Topeng Panca, Arja, Joged Leko, Barong, Kakidungan, dan lainnya.Dan pada upacara bhuta yadnya terdapat tari Sanghyang Jaran, Bojog, kakidunga, gamelan Bala Ganjur, dan lain sebagainya (Bandem, 1991). Dalam pertunjukan hiburan, Tari yang dipertunjukan kepada khalayak umum ialah Tari yang berjenis bebalihan atau balih-balihan.Tari-tarian yang termasuk dalam jenis tersebut bersifat tidak sakral dan hanya untuk hiburan semata sehingga nilai artistiknya dapat dinikmati, baik dari unsur gerak bahkan kostum yang ditampilkan tanpa memudarkan eksistensi atau asal muasal tarian yang ditampilkan.Munculnya tari bebalihan atau tari kreasi baru ini merupakan salah satu reaksi dari masyarakat dalam menghadapi perkembangan pariwisata. Klasifikasi Tari Bali Dalam kehidupan masyarakat Bali, seni tari dapat di klasifikasikan menjadi 3, yakni tari Wali, tari Babali, dan tari Balih-balihan (Wirawan: 1998 : 66). Ketiga jenis tari tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Pada Tari Wali, bentuk atau gerak dari tari tersebut tidak mementingkan keindahan artistik, melainkan menitikberatkan kepada komunikasi penari dengan leluhurnya sehingga sebagian besar dari tari yang tergolong jenis Tari Wali penarinya akan mengalami keadaan yang tidak sadar. Adapun Tari bebalih merupakan tarian yang sifatnya mulai terbuka.Artinya dalam tarian tersebut tingkat kesakralannya lebih rendah dan dapat ditonton sebagai pelengkap upacara adat masyarakat setempat.Unsur yang ditonjolkan dari tarian jenis ini adalah lakon atau drama yang disajikan dalam bentuk tari sehingga lebih ringan untuk diserap para penonton.Lain halnya dengan balih-balihan.Tarian tersebut merupakan jenis tarian yang digunakan untuk kepentingan komersialisasi. Jenis tari ini menitikberatkan nilai artistik didalam komponen gerak maupun penampilan luarnya. Hal ini dikarenakan seni tari memiliki daya tarik dan nilai jual yang tinggi di mata wisatawan yang berkunjung ke Bali (Yulianti: 2015: 251). Tari Wali merupakan tari yang dipertunjukkan pada saat dilaksanakannya upacara keagamaan yang bersifat sakral. Tari jenis ini diyakini untuk mendatangkan energi positif, baik itu terhadap kehidupan masyarakat secara duniawi maupun spiritual serta mengusir roh- roh yang diyakini akan mendatangkan malapetaka, seperti kekeringan, gagal panen, kemiskinan, banjir, dan sebagainya..Tari-tarian yang tergolong dalam klasifikasi Tari Wali
sakral, sehingga penari yang diwajibkan ialah gadis yang tidak sedang berhalangan dan belum menikah. Tari ini dilaksanakan pada saat setiap ada piodalan yaitu 7 bulan sekali (Bandem, 1983: 122). Tarian ini ditarikan secara berkelompok dan ditujukan terhadap Dewa Yadña. Penari akan mengenakan pakaian adat adat tergantung wilayahnya masing-masing. Tari Rejang merupakan tarian yang masih melekat dalam masyarakat wilayah Tenganan, Bungaya, Asak, Sukawana, dan Batur dan masih dijaga kesuciannya oleh masyarakat setempat (Agung,1981: 32). Tari yang tergolong dalam Tari Wali lainnya adalah Tari Sanghyang.Tari Sanghyang merupakan tarian yang telah diwariskan sejak masa pra-Hindu (Departemen Pendidikan dan Kebudayan, 1979: 138).Pada masa tersebut, tarian ini merupakan tarian yang dilakukan pada saat ritual upacara kepercayaan animisme.Eksistensi dari Tari Sanghyang dapat terlihat pada pelaksanaan upacara di wilayah Karangasem, Buleleng, Kelungkung, Gianyar, Bangli, dan Badung (Pramana, 2004: 32).Tari Sanghyang ditarikan dengan tujuan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup mnusia.Tarian ini ditarikan untuk menjauhkan masyarakat dari marabahaya, bahkan juga ditarikan guna menangkal serta mengobati penyakit. Tari lainnya yang tergolong dalam Tari Wali ialah Tari Pendet.Tari Pendet berfungsi untuk menyambut Dewa yang turun ke dunia. Berbeda dengan TariRejang yang telah dijeaskan sebelumnya, Tari Pendet dapat ditarikan oleh wanita dari berbagai kalangan dan usia. Dalam tarian ini, para penari membawa wadah berisi sesajen yang umumnya berisikan bunga.Selain itu, penari juga membawa peralatan yang digunakan sebagai persembahan, yakni sangku atau wadah yang berisikan air suci, kendi dan pasepan (http://phdi.or.id/artikel/ arti-sarana-persembahyangan di akses pada tanggal 3 Maret 2018 Pukul 17.32).Pelaksanaan Tari Pendet dipimpin oleh seorang pemangku (pemimpin upacara) dengan membawa sebuah pasepan atau alat pedudusan yang diberi menyan dan dibakar.Pada bagian akhir dari tariannya, para penari meletakkan saji-sajian, canang sari dan kwangen yang telah disiapkan sebelumnya pada pelinggih dan ada juga yang menaburkan bunga kepada Bhatari sebagai suatu penghormatan.Pelaksanaan tari ini diiringi dengan gambelan Gong Kebyar. Klasifikasi kedua adalah Tari Balih.Tari jenis ini merupakan tari yang terdapat pada upacara.Namun, yang membedakan tari Balih dengan tari Wali ialah tari jenis ini pada umumnya memilki lakon pada suatu alur cerita keagamaan.Sehingga sifatnya tidak begitu terikat seperti Tari Wali.Tari jenis ini dapat juga dikatakan tari semi sakral yang hanya ditarikan sebagai pelengkap upacara keagamaan saja sehingga sifatnya tidak wajib.Tarian yang tergolong dalam Tari Balih salah satunya adalah Tari Topeng, Tari Gambuh, Tari Wayang (Bandem, 1996: 50).
Klasifikasi Tari Bali yang terakhir alah Tari Balih-Balihan atau Bebalihan, yang merupakan Tari Kreasi yang muncul dari inovasi dan kreativitas koreografer sehingga menciptakan tarian baru tanpa menghilangkan aturan atau kaidah serta unsur kebalian yang dimiliki. Berdasarkan sasarannya, tarian ini ditujukan untuk menjadi tarian penyambut wisatawan ketika sampai di bandara, di hotel, maupun tempat-tempat wisata. Tidak hanya itu, tarian yang tergolong bebalihan pula yang diajarkan pada sanggar tari atau siapapun yang hendak belajar Tari Bali.Berdasarkan fungsinya, tarian jenis ini pula yang menghantarkan seni tari Bali menjadi aset penting sebagai salah satu daya tarik yang dimiliki Bali. Jenis tari- tarian yang termasuk kedalam tari bebalihan atau balih-balihan ialah Tari Legong, Tari Kecak, dan Tari Janger (Soedarsono,1974: 184). Desakralisasi Tari Bali Dalam pembuatan tari garapan yang tergolong dalam tari balih-balihan, Para seniman Bali tidak hanya asal mengambil gerakan atau komponen yang terdapat pada tari wali saja.Terdapat aturan-aturan khusus mengenai seniman manapiun yang hendak menggarap tari-tarian Wali. Tidak hanya itu, para seniman juga harus meminta izin kepada petinggi suatu daerah dimana tarian tersebut berasal atau keturunan yang memiliki hubungan dengan sang pembuat tarian. Tari Bebalihan atau tari kreasi yang difungsikan secara komersil tetap memiliki gerak dasar yang dimiliki tari Bali, baik dari mata hingga kaki. Tari Baris merupakan tari ritual yang merepresentasikan kegagahan prajurit yang hendak melindungi wilayah yang mereka tempati.Dalam pelaksanaannya, tari baris yang digunakan sebagai ritual salah satunya adalah Tari Baris Gede.Tarian tersebut digerakkan secara dinamis dan penuh ketegasan. Hal ni mencerminkan ketangguhan para prajurit yang melindungi rajanya. Bentuk ritual dalam tari baris ialah tarian ini dilakukan dengan penarinya yang membentuk pola lantai berbaris.Namun, tanpa melunturkan ciri khas dari tarian tersebut, pada akhir tahun 1960an muncul tari bebalihan yang mengadaptasi tari Baris Gede, yakni Tari Baris Tungggal.Pola gerak baris tunggal tidak jauh berbeda dengan tari Baris Gede. Tetapi, apabila Tari Baris Gede lebih banyak memiliki pola gerak bebas mengikuti alam dan perburuan, pada Tari Baris Tunggal, tarian tersebut dilaksanakan oleh satu penari dengan perlengkapan artistik yang ramai dan meriah. Tari Baris Gede yang semula hanya dapat ditarikan oleh pria, pada baris Tungal dapat ditarikan oleh anak laki-laki bahkan anak perempuan yang didandani seperti laki-laki.Komponen lainnya yang berubah selain dari penarinya ialah pada kostum yang digunakan. Pada Baris Gede, Kostum yang digumakan sangatlah kompleks dan bervariasi. Akan tetapi pada Baris Tunggal, kostum yang terpenting ialah dalam lapisan-lapisan atau layer yang terdapat di baju sehingga memberikan efek setiap
memasukkan berbagai lakon baru yang sebelumnya tidak pernah dipertunjukkan pada penampilan Tari Kecak (Dibia, 2017: 102). Munculnya garapan dan inovasi baru dari Tari Kecak merupakan sebuah upaya untuk memperkenalkan tarian tersebut di kalangan anak muda setempat yang masih buta akan kebudayaannya. Salah satunya ialah pada Tahun 1972, SMP Tresna Yasa yang terdapat di Gianyar dibawah asuhan Seniman ternama I Wayan Dibia menggarap tari Kecak dan menampilkan unsur-unsur baru pada tarian tersebut. Unsur barunya adalah para pengecak yang pada umumnya berposisi duduk, dalam pementasan ini dilakukan secara berpindah- pindah dengan pola lantai yang unik. Tarian tersebut dilakukan secara massal dengan melibatkan 80 siswa sebagai pengecak. Tidak hanya itu, lakon yang dibawakan pada tarian tersebut ialah epos Ramayana yang sebelumnya belum pernah ditampilkan di tarian kecak manapun (Dibia: 2017:104). Berkembangnya pariwisata pada masa pembangunan ekonomi, yakni dalam rentang waktu 1969 hingga 1988 memberikan peranan penting dalam mendorong masyarakat serta seniman Bali untuk mengekspresikan kreasi serta inovasinya terhadap Tari-tarian Bali. Eksistensi tari-tarian yang bersifat sakral semula terancam punah namun berhasil direvitalisasikan dan dilestarikan dengan wujud yang baru tanpa merubah gerak dasar maupun unsur-unsur yang dimiliki.Desakralisasi dalam seni tari dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan kebudayaan masyarakat Bali terutama di bidang seni tari tanpa menghilangkan asal muasal tarian tersebut.Hal tersebut pun menjadi daya tarik wisatawan sehingga kegiatan pariwisata di Bali pun berkembang dengan pesat serta pendapatan masyarakat pun meningkat.Meskipun demikian, desakralisasi Tari Bali juga memberikan dampak bagi berbagai aspek kehidupan masyarakat, diantaranya berdampak terhadap kehidupan sosial-budaya. Dampak Desakralisasi Tari Bali dalam Kehidupan Masyarakat. Munculnya kreatifitas pada seniman Tari Bali juga merupakan upaya masyarakat untuk melestarikan kebudayaan dan tradisi mereka ditengah berkembangnya kegiatan pariwisata sejak diusungnya program PELITA dari tahun 1969.Tidak hanya terfokus pada pembangunan yang mendukung kegiatan pariwisata, pemerintah juga mendukung kegiatan masyarakat dalam meningkatkan kreativitasnya guna menyebarkan kebudayaan tersebut.Pemerintah berupaya untuk memelihara, membina, dan membantu masyarakat dalam mengembangkan kesenian tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Bali agar tidak luntur akibat masuknya arus wisatawan yang juga membawa budayanya dari luar.Upaya tersebut berupa
pelestarian ide, pelestarian materi, dan pelestarian terhadap keterkaitan antara kedua hal tersebut (Bandem, 1985: 19). Untuk menampung berbagai macam aspirasi dan ekspresi masyarakat terkait dengan pelestarian kesenian tradisi, pemerintah daerah mendirikan lembaga yang berperan dalam melestarikan kesenian tradisi tersebut.Tidak hanya Dirjen Pariwisata yang menggencarkan kebudayaan Bali sebagai tonggak penting pendukung kegiatan pariwisata, Instansi pemerintah lainnya kerap mendukung masyarakat Bali dalam berkreasi dan menyalurkan aspirasinya.Departemen Penerangan memiliki peran dalam menghadapi dan menanggulangi kondisi kesenian terutama tari-tarian Bali yang mengalami desakralisasi.Tidak hanya itu, lembaga tersebut juga menjaga kesenian tradisional Bali agar unsur keaslian dan kesakralannya tidak memudar atau menghilang. Salah satu implementasi dalam mewujudkan tujuan tersebut ialah didirikannya taman budaya terbesar dan rutin menggelar pertunjukan kesenian teruma tari-tarian Bali adalah Taman Werdhi Budaya yang terletak di Denpasar (Bandem, 1985: 20). Taman Werdhi Budaya merupakan pusat pergelaran kesenian yang terletak di Denpasaar. Pendirian taman budaya ini diusung oleh Gubernur Bali keenam, yakni Ida Bagus Mantra pada tahun 1969. Didirikannya taman budaya ini bertujuan untuk menampung aspirasi dan kreativitas seniman Bali agar terus berkarya dan menamipilkan karyanya di depan masyarakat luas, baik itu masyarakat lokal maupun wisatawan. Tidak hanya itu, Taman Werdhi Budaya dibangun dengan tujuan sebagai lokasi tempat pementasan kesenian regular terbersar di Bali, yakni Pesta Kesenian Bali yang perdana dilaksanakan pada tahun 1979 yang juga diusung oleh Gubernur Bali Keenam tersebut (https://denpasarkota.go.id/index.php/ detail-datang-kunjungi/7/Taman-Budaya-awalArt-Centreakhir Diakses pada tanggal 12 Mei 2018 Pukul 16.40). Munculnya berbagai dukungan pemerintah terhadap perkembangan pertunjukan seni tari pada masyarakat Bali mengakibatkan kegiatan seni pertunjukan khususnya berisikan tari- tarian garapan berada di masa kejayaannya.Hal tersebut dapat terlihat dari semakin banyaknya sarana pertunjukan yang tercipta dan dipergunakan, maka semakin banyak pula karya yang dihasilkan sehingga karya tersebut berkembang dikalangan masyarakat luas sesuai dengan fungsinya, yakni sebagai media hiburan.Dengan adanya fenomena tersebut, masyarakat terutama kalangan para seniman tari Bali dituntut untuk menghasilkan karya baru, berinovasi, dan menuangkan karyanya guna kepentingan komersil. Hal ini mengakibatkan seni pertunjukan yang merupakan khasanah hidup masyarakat Bali sudah bukan bekerja sesuai dengan fungsi yang semestinya, yakni sebagai tuntunan hiidup dalam
Maraknya tari-tarian Bali yang bersifat profan atau telah mengalami desakralisasi mengakibatkan munculnya kegiatan pertunjukan kesenian, khususnya pertunjukan tari yang memiliki dampak kepada berbagai pihak atau kalangan (Yoeti, 2006: 70).Pelaksanaan pertunjukan tersebut tidak hanya menambah pendapatan para penari, pemusik, ataupun panitia acara yang bersangkutan, melainkan juga menguntungkan bagi masyarakat yang memiliki kegiatan mata pencaharian lagi.Adanya pertunjukan yang diselenggarakan di suatu tempat menyebabkan munculnya para pedagang seperti pedagang cenderamata, makanan, maupun minuman, serta pedagang asongan lainnya.Mereka pun mendapatkan keuntungan dari para pengunjung atau penonton yang hadir menyaksikan pertunjukan tersebut (Yoeti, 2006: 71). Banyaknya aktivitas pertunjukan seni, khususnya tari-tarian juga mengakibatkan munculnya kerja sama antara agensi travel dengan sekaa atau komunitas kesenian dari berbagai wilayah di Bali (Yoeti: 2008: 169). Kerja sama yang dijalin akan menghasilkan munculnya kegiatan pementasan kesenian yang khusus ditujukan kepada wisatawan yang memakai jasa dari travel tersebut, dimana terdapat berbagai permintaan terhadap pementasan kesenian berupa tari ataupun musik yang dapat dinikmati oleh para wisatawan yang mengunjungi Bali. Peningkatan permintaan terhadap pementasan kesenian mengakibatkan anggota sekaa menjadi sibuk dalam memenuhi permintaan tersebut, sehingga banyak dari mereka yang meninggalkan pekerjaan utama mereka yakni bertani atau berternak dan bergantung nasib di bidang industri pariwisata. Derasnya arus mobilitas sosial tersebut juga merupakan wujud dari keinginan masyarakat Bali dalam memperbaiki nasibnya.Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Bali memiliki etos kerja yang tinggi yang tercermin dari banyaknya kegiatan dan inovasi baru yang diciptakan guna menghadapi persaingan yang tinnggi antar sesama seniman.Persaingan tersebut lumrah terjadi baik antara seniman maupun berbagai sekaa yang terdapat di desa-desa di Bali.Persaingan tersebut memunculkan semangat, kebersamaan, dan kekompakan antar anggota sekaa maupun golongan lainnya dalam mengeksplor kemampuan mereka dalam berkreasi serta menampilkan karya tari garapan dengan kualitas yang terbaik. Kebersamaan yang dijunjung tinggi tersebut tidak lain merupakan ajaran yang dianut oleh masyarakat bali pada umumnya, yakni sagilik saguluk salunglung sabayantaka paras poros sarpanaya. Implementasi dari ajaran tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali tidak hanya mengedepankan diri sendiri, namun juga berupaya untuk mensukseskan kehidupan bersama (Atnaja, 2010:107).
Fenomena perubahan fungsi yang terdapat pada seni tari dalam masyarakat Bali memberikan dampak yang nyata kepada kehidupan perekonomian masyarakat.Maraknya tari- tarian Bali yang mengalami desakralisasi mengakibatkan munculnya pertunjukkan seni tari dengan skala yang cukup besar.Hal tersebut mengakibatkan banyaknya masyarakat yang berpindah profesi menjadi agen penyedia jasa hiburan atau bekerja dibidang seni pertunjukan akibat bidang tersebut merupakan bidang yang ramai dan dianggap paling laris di masa perkembangan pariwisata Bali.Banyaknya permintaan terhadap pertunjukan tari-tarian Bali menyebabkan masyarakat lambat laun meninggalkan pekerjaannya dan mulai merambat ke bidang seni pertunjukan. Fenomena ini juga mengakibatkan mobilitas sosial vertikal ditengah masyarakat Bali. Masyarakat kelas menengah kebawah mengupayakan dirinya agar memiliki peranan di bidang seni pertunjukan sehingga dapat meningkatkan pendapatan sehari-hari. Dengan kata lain, masyarakat perlahan mengalami perubahan dari masyarakat yang pada umumnya merupakan golongan petani atau peternak lambat laun menjadi masyarakat yang berkancah di bidang pariwsata budaya. Dengan berubahnya mata pencaharian masyarakat tersebut, perubahan yang terjadi dalam kehidupannya pun tidak dapat dielakkan.Perubahan tersebut diakibatkan oleh keinginan masyarakat yang hendak memperbaiki kehidupan perekonomiannya.Hal tersebut juga didorong oleh faktor internal dari kegiatan perekonomian masyarakat tersebut.Salah satu alasan masyarakat yang semula bekerja sebagai petani beralih ke bidang pariwisata budaya ialah dikarenakan ketidaksanggupan mereka yang kerap mendapat kerugian akibat gagal panen dari lahan pertanian mereka.Beralihnya penduduk yang semula bekerja sebagai bertani menjadi berkelut di bidang pertunjukan profan juga dikarenakan ketersedial lahan pertanian yang mereka miliki perlahan diambil alih oleh sektor swasta, baik itu di gusur maupun dibeli oleh perusahaan tersebut (Rahardjo, 1998: 20). Perubahan ekonomi yang dialami masyarakat Bali menunjukan bahwa masyarakat Bali telah bertransformasi dari yang semula merupakan masyarakat agraris menjadi masyarakat urban.Hal tersebut dapat terlihat banyaknya persaingan yang muncul terhadap pelaksanaan pertunjukan profan sehingga kerap sekali nilai keagamaan dari seni yang dipertunjukkan tidak diperhitungkan dan tidak begitu dianggap penting. Hal ini pula yang menyebabkan ajaran dasar yag dianut oleh masyarakat Bali, yakni Tri Hita Karana kerap dianggap tidak begitu efektif seiring berkembangnya kegiatan pertunjukan profan dan perkembangan pariwisata (Rahardjo, 1998: 125). Sebelum konsep pariwisata budaya digalakkan, Masyarakat biasanya melakukan kegiatan berkesenian, baik itu menarikan tari-tarian maupun musik tradisional sebagaai
lain yang kontra dengan putuusan pemerintah daerah tersebut. Anggapan tersebut berupa pelaksanaan pertunjukan tari-tarian baik itu wali, bebalih, dan bebalihan begitu perlu dilaksanakan agar masyarakat luas baik itu lokal maupun wisatawan dapat mengetahui dan mempelajari makna dari tarian tersebut serta kebudayaan tari-tarian Bali dapat menjaga eksistensinya (Listibiya, 1973:5). Putusan pelarangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah juga mengakibatkan kontradiksi yang terpampang nyata. Hal inik dapat terlihat pada Fire Dance dan Angel Dance , dimana keduanya merupakan turunan dari Sanghyang Jaran dan Sanghyang Dedari yang kerap dipromosikan kepada wisatawan oleh pemerintah. Padahal tari-tarian tersebut merupaka turunan dari tari wali yang sudah jelas dilarang pementasannya (Moerdowo, 1977: 88).Mengatasi kontradiksi dan kebingungan tersebut, I Gusti Agung Gede Putra Agung mengusung seminar pada tahun 1982.Dalam seminar tersebut terdapat berbagai usulan mengenai kriteria pengklasifikasian tari wali.Suatu tarian dinaman tari wali apabila seluruh unsur pertunjukannya telah disucikan dan tarian jenis ini dapat ditarikan kepada umum apabila seluruh unsur yang terdapat pada tarian tersebut tidak disucikan atau dapat ditarikan begitu saja sesuai dengan izin dari petinggi agama setempat.Namun, dalam pelaksanaannya seringkali persyaratantersebut diabaikan.Banyak tari-tarian dengan golongan yang telah dibedakan tersebut pada akhirnya digeneralisasikann, baik itu dalam upacara maupun sebagai sajian hiburan bagi wisatawan (Putra, 1980:3). Desakralisasi tari-tarian Bali juga memberikan dampak kepada kebudayaan masyarakat Bali yang menganut ajaran Tri Hita Karana. Hal tersebut tercermin dari perilaku masyarakat yang lambat laun mengalami modernisasi dan berorientasi untuk melayani masyarakat luar tanpa mengutamakan ajaran yang telah diyakini dan dijalankan sebelumnya, baik itu adat istiadat, norma, serta nilai-nilai spiritual lainnya. Tidak hanya itu, pandangan hidup masyarakat juga berubah, yang semula menjalankan kebudayaan dengan guna mendapatkan ketenangan spiritual dan menjalani hidup dengan damai menjadi terfokus kepada bidang materi saja (Rahardjo, 1998:120).Fenomena ini memunculkan kekhawatiran akan kebimbangan kepada para petinggi wilayah Bali. Pasalnya, kegiatan pertunjukan profan diyakini menambah pendapatan masyarakat secara keseluruhan dikarenakan munculnya banyaknya peliuang kerja di berbagai jenis kegiatan mata pencacharian. Disisi lain, apabila kegiatan tersebut tetap diadakan tanpa memperhatikan kondisi kebudayaan masyarakat yang kian luntur akan menyebabkan kebudayaan tersebut kehilangan nilai dan normanya serta perlahan kebudayaan tersebut akan hilang dan tergantian dengan kebudayaan modernisme
yang dipandang tidak menghargai dan menghormati adat istiadat yang telah diwarisi secara turun temurun(Agung, 2010: 136). Kesimpulan Desakralisasi atau perubahan fungsi seni tari pada masyarakat Bali merupakan fenomena yang terjadi sebagai bentuk respon masyarakat terhadap perkembangan pariwisata Bali. Dicanangkannya program PELITA pada tahun 1969 menjadikan sektor pariwisata menjadi salah satu program utama yang menaikkan devisa negara. Penetapan Bali menjadi daerah pusat pengembangan pariwisata Indonesia bagian tengah ditadai dengat dibuatnya SK Presiden No.319 Tahun 1968 dan pada tanggal 1 April 1969, pembangunan sektor pariwata pun dilakukan secara intensif bersamaan dengan pelaksanaan PELITA I di Indonesia. Kebudayaan masyarakat Bali pada umumnya mengedepankan dua unsur kebudayaan di dalamnya yakni unsur keagamaan dan unsur kesenian.Kedua unsur tersebut dapat terlihat dari kebudayaan masyarakat Bali berupa upacara keagamaan bersifat yang terdapat unsur kesenian di dalamnya.Salah satu bentuk dari unsur kesenian dalam upacara keagamaan masyarakat Bali adalah seni tari.Tari merupakan gerak dimana gerak tersebut merepresentasikan kehidupan sehari-hari serta mengekspresikan pengalaman penarinya (Soedarsono, 1968: 3). Seni tari dapat tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat karena kerap digunakan dalam piodalan (upacara adat) di berbagai pura. Masyarakat Bali memiliki kebudayaan yang mengedepankan seni tari didalamnya.Tari-tarian tersebut dilaksanakan sebagai salah satu pelengkap upacaraadat ataupun keagamaan yang pelaksanaanya diwajibkan sesuai dengan aturan dan kaidah yang terdapat pada Weda.Selain itu, tari-tarian yang terdapat di Bali mengekspresikan interaksi masyarakat baik itu dengan lingkungannya maupun antar sesama. Tari-tarian yang terdapat diBali dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yakni Tari Wali, Tari Bebalih, dan Tari Balih-Balihan.Tari Wali merupakan tarian Bali yang bersifat sakral dan hanya dipertunjukkan pada upacara adat tertentu dan disaksikan oleh kalangan tertentu pula di dalam Pura.Tarian yang termaksud dalam golongan iniadalah Tari Baris Gede, Tari Rejang, Tari Sanghyang dan Tari Pendet.Jenis tarian kedua ialah Bebalih merupakan tari peralihan yang masih bersifat sakral namun sudah terdapat lakon atau perwatakan didalamnya sehingga sifatnya dapat ditonton secara umum.Adapun tari Balih- Balihan merupakan Tari yang bersifat profan atau garapan yang merupakan turunan dari tari Wali atau tari Bebalih, diantaranya adalah tari Janger, Legong, dan Kecak. Sebagai ikon penting dalam pariwisata Bali, Tari Bali pun berkembang hingga dapat memunculkan dan menaikkan eksistensinya dimata wisatawan.Kreativitas dari para seniman
Kebudayaan masyarakat Bali yang menganut ajaran Tri Hita Karana pun mengalami perubahan. Hal tersebut tercermin dari perilaku masyarakat yang lambat laun mengalami modernisasi dan berorientasi untuk melayani masyarakat luar tanpa mengutamakan ajaran yang telah diyakini dan dijalankan sebelumnya, baik itu adat istiadat, norma, serta nilai-nilai spiritual lainnya. Tidak hanya itu, pandangan hidup masyarakat juga berubah, yang semula menjalankan kebudayaan dengan guna mendapatkan ketenangan spiritual dan menjalani hidup dengan damai menjadi terfokus kepada bidang materi saja.Fenomena ini memunculkan kekhawatiran aan kebimbangan kepada para petinggi wilayah Bali.Pasalnya, kegatan pertunjukan profan diyakini menambah pendapatan masyarakat secara keseluruhan dikarenakan munculnya banyaknya peliuang kerja di berbagai jenis kegiatan mata pencaharian. Disisi lain, apabila kegiatan tersebut tetap diadakan tanpa memperhatikan kondisi kebudayaan masyarakat yang kian luntur akan menyebabkan kebudayaan tersebut kehilangan nilai dan normanya serta perlahan kebudayaan tersebut akan hilang dan tergantian dengan kebudayaan modernisme yang dipandang tidak menghargai dan menghormati adat istiadat yang telah diwarisi secara turun temurun.
Daftar Pustaka Buku Agung, Anak Agung Gde. 2010. Bali Contrastic Effects of Globalization. Singapore: Humanities Press Agung , Anak Agung Gde Putra. 1981. Beberapa Tari Upacara dalam Masyarakat Bali Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI). Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius_._ Bandem, I Made. 1996. Evolusi Tari Bali. Denpasar : Pustaka Budaya. Bandem, I Made. 1985. Keadaan dan perkembangan Kesenian Bali Tradisional Masa Kini. Denpasar Akademi Seni Tari Indonesia. Bateson, G. & M. Mead. 1942. Balinnese Character: A Photographic Analysis. New York: New York Academy of Sciences. Department of Information Republic of Indonesia. 1960. Bali: the Isle of the God. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Bali. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Dibia, I Wayan, dan Rucina Ballinger. 2004. Balinese Dance, Drama, and Music: A Guide to Performing Arts of Bali. Singapore: Periplus. Dibia, I Wayan. 2017. Kecak: Dari Ritual Ke Teatrikal. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press Dibia, I Wayan.1999. Selayang Pandang: Seni Pertunjukan Bali. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hadi, Sumandyo. 2005. Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka. Hobart, Angela. 1996. The People of Bali. Oxford: Blackwell Publisher, Inc. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbitan Sinar Harapan. Moerdowo, R.M. 1977. Reflections on Balinese Traditional and Modern Art .Denpasar : Udayana Picard, Michel. 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Parwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Pramana, Pande Nyoman Djero. 2004. Tari Ritual Sang Hyang Jaran: Warisan Budaya Pra- Hindu di Bali. Surakarta: Citra Enika Nusantara. Rahardjo, Supratikno.1998. Sejarah Kebudayaan Bali: Kajan Perkembangan dan Dampak Pariwisata. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Senen, I Wayan. 2005. Perempuan dalam Seni Pertunjukan Bali. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. Soedarsono. 1968_. Dances in Indonesia_. Jakarta: P.T Gunung Agung Tbk. Wiana, Ketut. 1992. Sembahyang menurut Hindu Dharma. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Wirawan, A.A Bagus. 1998. Sejarah Pembangunan Lima Tahun di Propinsi Bali1969-1988. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Yoeti, Oka A. 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Yoeti, Oka. A. 2008. Perencanan dan Pengembangan Pariwisata .Jakarta. PT Pradnya Paramita. Yudabakti, I Made& I Wayan Watra.2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Penerbit Paramita. Jurnal John Roeder dan Michael Tenzer. Identity and Genre in Gamelan Gong Kebyar: An Analytical Study of Gabor. 2012Oxford University Press: Hlm: 78. Diunduh melalui http:// www.jstor.org/stable/10.1525/mts.2012.34.1.78 pada tanggal 12 Maret 2018. Pukul 21.38 WIB